Hari ini genap
sudah kehamilan saya menginjak usia 5 bulan. Semalam sudah kontrol pula ke
dokter kandungan yang sudah ke-3 kalinya saya ganti. Yaa begiculah, sampe
sekarang saya masih galau milih obgyn.
Prinsip saya,
selama ada obgyn wanita, saya memprioritaskan untuk periksa kandungan ke mereka.
Di Lombok ini saya sudah “nyoba” 2 dari 3 obgyn wanita. Sayangnya, keduanya
menurut saya belum bikin sreg. Obgyn yang pertama galak dan mudah nge-judge,
sedangkan yang satunya peragu, mungkin karena masih muda dan belum pengalaman
punya anak sendiri. Dokter satunya lagi susah ditemui karena jadwalnya yang
nggak match dengan jam kerja saya.
Maka, saya pun memutuskan untuk mencoba
berkonsultasi ke dokter pria. Suami selalu menemani setiap ke obgyn. Selama si
dokter pria tidak memeriksa dengan metode trans-vaginal, suami mengizinkan. Tapi
ternyata ke dokter inipun belum merasa sreg juga :D :D.
Kenapa nggak ke
bidan aja? Kalau saya pribadi masih merasa belum bisa sepenuhnya percaya pada
bidan. Terlebih bidan di tempat tinggal saya saat ini. Jangankan bidan delima,
bidan biasa saja jarang ditemui. Terlebih lagi, untuk kehamilan kedua ini saya
ingin melihat peluang saya untuk lahiran normal (karena kelahiran pertama
cesar). Untuk itu, saya merasa perlu konsultasi ke dokter obgyn yang menurut
saya lebih mampu mendiagnosa segala kemungkinan.
Belum lagi
masalah pilah-pilih obgyn selesai, muncul lagi permasalahan baru. Sejak 1
Januari 2014, PT ASKES yang menaungi asuransi kesehatan pe en es macam saya ini
berubah nama menjadi BPJS Kesehatan. Tapi rupanya, yang berubah tidak hanya
nama, namun juga mekanisme pelayanannya. Kalau dulu PT ASKES bisa me-reimburst
biaya yang kita keluarkan di Rumah Sakit/Klinik/Unit Kesehatan lainnya yang bukan rekanannya, kini sudah tidak bisa
lagi. BPJS hanya menerima klaim dari pasien yang dirawat di Rumah Sakit yang
menjadi rekanannya saja. Dan dalam hal ini, yang menjadi RS Rekanan BPJS
kebanyakan adalah rumah sakit plat merah (RS Pemerintah seperti RSUD) yang you know
lah pelayanannya kayak gimana.
Padahal, saat
baru ketahuan hamil pun saya sudah merencanakan untuk melahirkan di suatu RS
Swasta yang (menurut saya) lumayan bagus dan profesional di kota tempat tinggal
saya. Rumah Sakit ini tidak hanya punya obgyn-obgyn yang terpercaya, tapi juga
pelayanan (mulai dari suster sampai cleaning service) yang ramah dan peduli.
Pun juga karena ada program konseling laktasi yang oke punya.
Pulang ke rumah
orang tua dan lahiran di sana tidak menjadi pilihan untuk saya. Secara, kami
terpisah dua pulau dengan orang tua. Apalagi, ketentuan penerbangan sekarang
menjadi lebih ketat untuk penumpang-penumpang yang tengah hamil besar. Dan
tentunya saya juga tidak akan diizinkan cuti bersalin terlalu dini oleh
instansi kerja saya. Belum lagi masih harus boyongan lagi bawa bayi baru lahir
kembali ke perantauan. No Hope!
Oleh karena
itu, pilihan yang saya punya hanyalah mulai kontrol ke obgyn di Rumah Sakit
Pemerintah dan sekalian melahirkan di sana.
Sungguh
menyesakkan sebenarnya ketika tau bahwa pelayanan poliklinik Rumah Sakit
Pemerintah tersebut sudah tutup jam 14.00. Dan makin illfeel waktu saya telpon
untuk menanyakan jadwal praktek obgyn, bagian informasinya malah tanya balik ke
saya “obgyn itu apa ya, Mbak?” Duuuh...
Okelah, saat
ini saya sedang cooling down. Nggak mau mikir yang susah-susah. Bumil kan harus
bahagia, hehe. Lagipula kehamilan saya baru 5 bulan, masih ada banyak kemungkinan
di depan sana.
Siapa tau dalam
perjalanan kehamilan, saya akhirnya nemu obgyn yang pas di hati. Siapa tau BPJS
yang baru berdiri itu manajemennya semakin baik, dan cakupan Rumah Sakit
rekanannya juga lebih luas. Termasuk rumah sakit swasta yang jadi incaran saya,
hehe. Amiin.
Yuk ah. Cukup sekian
curhatnya. Balik kerja lagi ^^.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar