Kamis, 20 September 2012

Crochet Project : Amigurumi Penyu Penyu Unyu


Saya mulai jatuh cinta pada crocheting saat menginjak bangku SMP. Saya tertarik saat membaca suatu artikel di tabloid tentang keterampilan tangan yang satu ini. Hanya saja, latihannya baru mulai saat tahun pertama kuliah. Itupun otodidak dengan mencontoh dari buku.
Crochet adalah suatu jenis keterampilan tangan yang berbahan benang dan menggunakan alat berupa jarum dengan ujung melengkung yang disebut hook/hakken. Dalam bahasa Indonesia, crochet sering diterjemahkan dengan “merajut”. Terjemahan ini agak kurang tepat sebenarnya. Karena, ada suatu keterampilan tangan lain, yakni “knit” yang juga disebut sebagai “merajut”.
Menurut saya, knit inilah yang lebih cocok disebut merajut. Knitting merupakan keterampilan tangan berbahan benang dengan alat berupa dua buah jarum tebal mirip sumpit yang disebut jarum Breien. Hasil dari “knitting” ini lebih rapat dan tidak berlubang-lubang seperti crochet.
Tehnik crochet sering dipakai untuk membuat doily dan lace, serta renda-renda. Oleh karena itu, “crochet” lebih tepat jika diterjemahkan sebagai “merenda”.
';
             Tehnik crocheting/merenda                                  

Nah, Amigurumi sendiri adalah kesenian membuat boneka dari Jepang dengan menggunakan salah satu atau dua tehnik di atas.
Saat ini saya bergabung dengan suatu klub hobby knitting dan crocheting bernama Rajuters di facebook. Setiap bulan, kami mengadakan CAL/KAL dengan berbagai tema.
Bulan Februari 2012 lalu, tema CAL nya adalah gantungan kunci. Jadilah saya ikutan nimbrung menyumbangkan hasil karya saya. Gantungan kunci yang saya buat adalah gantungan kunci berbentuk penyu. Ini dia penampakannya :
Penyu penyu unyuuuuu
Lucu kaaan......?!
Penyu-penyu ini saya buat dengan tehnik crochet.
Alhamdulillah, penyu-penyu ini mendulang banyak “like” dan “comment”  yang positif. Hasilnya pun akhirnya diminta oleh teman dan bos saya. Saya sendiri malah ga kebagian :D.
Bagi yang pengen mencoba untuk membuat, berikut saya share polanya (tehniknya sebaiknya belajar dari buku atau video saja ya ^^).

SELAMAT MENCOBA ^^




Minggu, 16 September 2012

The Rainbow Cake Project


Awalnya, saya cuek-cuek saja melihat kehebohan rainbow cake beberapa bulan lalu. Toh juga cuma sponge cake yang ditumpuk berlapis-lapis mengikuti warna pelangi, mejikuhibiniu. Googling resepnya di berbagai web dan blog juga tidak ada yang spesial dengan bahan-bahan cake ini. Sama saja seperti cake-cake pada umumnya.
Saat saya tanyakan pendapat suami, ternyata dia juga sepakat dengan saya. Malah dia nampak ogah saat saya ajak untuk membuat cake ini. “Mending juga bikin brownies panggang”, gitu bilangnya.
Tapi, akhirnya saya jadi penasaran juga. Apalagi cake shop langganan kantor juga menjual si rainbow cake sebagai cake terbaru andalan mereka dengan harga yang aji gile mahalnye. Saya jadi makin penasaran, why this cake could be soooo expensive??
Jadilah, di suatu sore yang sepi (halah), saya nekat memutuskan untuk membuat rainbow cake ini. Saya intip-intip lagi bahan-bahan kue di lemari dapur. Ternyata sebagian besar keperluan untuk membuat rainbow cake sudah tersedia dengan jumlah yang cukup. Tinggal pewarna ungunya saja yang ga ada.
Rencananya, saya mau bikin rainbow cake yang dikukus aja. Resepnya 2x resep brownies kukus yang biasa saya buat, minus coklat tentunya.
Kira-kira, inilah list bahan-bahan yang saya pakai :
Untuk cakenya :
2 cup tepung terigu untuk cake (saya pakai segitiga biru)
1,5 cup gula pasir
1 sdm emulsifier
5 butir telur
¾ cup minyak goreng
Susu kental manis (saya kira-kira aja, ga sampe sekaleng kok)
Pewarna merah (saya pakai pasta stroberi)
Pewarna jingga (saya pakai pasta jeruk mandarin)
Pewarna kuning (saya pakai pasta jeruk nipis)
Pewarna hijau
Pewarna biru
Campuran pewarna biru dan merah untuk menghasilkan warna ungu
Setiap pewarna yang bukan pasta, saya tambahkan ekstrak vanila.

Untuk buttercreamnya :
Mentega putih (agar warnanya putih cantik)
Gula halus secukupnya (tergantung suka seberapa manis) diayak
Saya tambahkan ekstrak vanila secukupnya, bisa juga diganti/ditambah kulit jeruk lemon dan essence jeruk biar ga terlalu eneg.
Untuk Topping dan isiannya
Stroberi, gula pasir, dan air
Pertama-tama, saya siapkan dulu buttercream-nya, karena paling gampang. Cukup dicampur dan dikocok hingga lembut. Sisihkan di suhu ruang aja.
Kedua-dua, hehe, saya bikin toppingnya. Ini juga gampang. Stroberi saya cemplungin sebentar ke dalam rebusan air gula. Tujuannya untuk mengurangi rasa asam pada stroberi, dan agar stroberi tidak mudah busuk, karena sudah dimasak.
Terakhir, barulah saya buat adonan cakenya. Kocok telur dan gula serta emulsifier hingga mengembang, kental, dan berjejak. Masukkan tepung terigu secara bertahap sambil tetap dikocok. Campurkan susu kental manis dan minyak goreng, lalu aduk hingga rata.
Bagi adonan menjadi tujuh (kalau saya cuma dibagi enam) sama banyak. Beri masing-masing adonan pewarna secukupnya. Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, daaaan Ungu.. Eh, buat yang ungu pake apa ya?
“Itu sih bisa disiasati dengan kombinasi warna aja, asal kamu punya warna dasar, kuning, merah, sama biru” saran suami sambil bergegas ngambil laptop. Dan tak lama kemudian....
“nih..” disodorkannya si laptop pada saya. Ada tampilan palet warna Adobe Photoshop di dalamnya.
“Jadi buat bikin warna ungu, kamu campurin warna merah sekian persen, biru sekian persen!”
Krik...krik...
Hadeeeeh...mana bisa mikirin persen-persenan kalo nyampurin warna yang cuma setetes dua tetes?? Ara’-ara’ doang*)....
Akhirnya, saya asal aja. Warna merah dan biru saya campur sekenanya. Saat masih berupa adonan, warna ungunya masih cukup meyakinkan.
Sekarang, tiba saatnya kukus mengukus. Lama pengerjaan buttercream hingga adonan cake seingat saya ga sampai 2 jam. Dari sore sampai sebelum maghrib sudah selesai. Tahap pengukusan inilah yang memakan waktu lama. Secara, loyang yang muat di kukusan saya cuma ada satu, hehe.
Saya pake loyang lingkaran dengan diameter kurang lebih 20 cm. Saya ngukus adonan per warna selama 30 menit. Jadi, 6 warna x 30 menit = 3 jam! Setiap awal tahap pengukusan harus diawali dengan menyemir loyang dengan mentega, menaburi dengan tepung, lalu memasang kertas roti di bagian bawah loyang. Setiap selesai ngukus satu adonan, loyang harus dibersihkan dulu dari remah-remah tepung (panas-panas dibersihinnya T_T), baru bisa dimulai tahap berikutnya. Begitu seterusnya hingga seluruh adonan selesai. Hhhgg, bener-bener menguras kesabaran.
Setelah semua lapisan warna siap, saatnya menyusun dan menghias. It’s the funniest part!! ^___^. Tapi, bagian ini malah diserobot sama suami (manyun).
Ya udahlah, yang penting kuenya udah hampir jadi (yaaay).
Susunan warna dibuat dari ungu-biru-hijau-kuning-jingga lalu merah. Setiap lapisan disiram dulu dengan air gula agar tetap moist, baru kemudian dioles dengan buttercream dan stroberi ditata di atasnya. Terakhir, suami membalut seluruh permukaan cake dengan buttercream dan menaruh sisa stroberi di atas cake. Ini dia penampakannya...
Buttercreamnya masih berantakan ^^

Taraaaaa....iniliah Rainbow cake ala Ratna dan Ainal!!
Liat deh warna ungunya. Lebih mirip biru donker daripada ungu. Jadi ini bukan rainbow cake mejikuhibiu, tapi rainbow cake mejikuhibidonk, hehe.
Sebenarnya “ga tega” saat cake ini dipotong. Capek sih bikinnya. Tapi...apalah arti seonggok cake jika tidak dicoba. Ya tho?!
Maka, dibelahlah cake itu dengan seikhlas hati. Dan, Alhamdulillah hasil layeringnya nampak indah dan menarik. Si Aisy sampai berkali-kali ‘dicegat’ biar ga nyemek-nyemek kuenya, karena mau difoto dulu sama Abinya, hehe.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Peralatan diberesin, dapur dibersihin. Daaaan...si Rainbow cake tetep cakep seperti di foto, hingga keesokan paginya, haha. Kami ngantuk dan capek sekali sodara-sodara. Permintaan mata untuk tidur lebih kuat daripada permintaan mulut buat nyobain Rainbow cake. :D
Tapi jangan khawatir, berdasarkan testimony Aisy, pengasuhnya Aisy, dan teman-teman di kantor, Rainbow cake-nya Alhamdulillah enak ^_____^. Rasa buah-buahan dan vanila di dalamnya terasa sekali dan matching satu sama lain. Serasa makan fruitcake saja. Stroberinya juga asem-asem manis seger seperti yang diharapkan. Bahkan, salah satu teman bilang Rainbow cake bikinan saya lebih enak daripada bikinan cake shop langganan kantor. Gratis pula!
So, dengan ini saya menyatakan :
The Rainbow Cake Project SUCCESFULLY ACCOMPLISHED!
Senyum senaaaaaang ^_________________^
Alhamdulillah.

Kamis, 06 September 2012

PINDAHAN, DARI SINI, SONO, DAN SITU

Sampai lulus SMA, saya belum pernah tau seperti apa rasanya pindahan rumah. Saya hidup dengan tenang dan damai di dalam sebuah rumah hanya di satu kota. Di situ saja selama 19 tahun. Kalaupun bisa disebut pindahan, maka satu-satunya pindahan yang pernah saya rasakan adalah pindahan tempat tidur karena kasur saya ditukar. Dan itu sukses membuat saya nangis, tidak tidur semalaman. :D
Saya memang sudah teramat betah dengan kota saya, rumah saya, apalagi kasur saya. Oleh karena itu, saat pindahan perdana karena menjadi Mahasiswi STAN, saya mengalami jetlag luar biasa. Saya tidak hanya harus berpindah kasur, tapi juga pergi dari rumah, pindah kota, bahkan berpindah pola hidup.

Saya masih ingat, awal awal tinggal di Jurangmangu, tiap kali mendengar suara kereta (dari kosan saya bisa terdengar bunyi kereta tiap hari) mata saya mbrebes mili. Pengen pulang.
Untungnya itu hanya pekan pekan pertama saja, tidak sampai 3 tahun ^^.
Hampir lulus dari STAN, saya terpaksa pindahan lagi. Jatah ngekos yang hampir habis dan tahun ajaran baru yang hampir tiba, membuat Ibu Kos mewanti-wanti agar kami segera bersiap untuk “hengkang” dari rumah kos kami yang nyaman di Kalimongso.
Dasar saya dan 3 orang lain teman kos sudah klop satu sama lain, kami ogah pindah kos berpencar-pencar. Jadilah kemana-mana kami selalu mencari kosan yang bisa menampung kami semua. Alhamdulillah kami berhasil mendapatkan kamar kos yang cukup lega di Jalan Gurita, PJMI. Kamar kos itu kami tinggali berempat (bayangkan umplek-umplekannya :D).
Di kos Gurita, saya tinggal selama kurleb 3 bulan, plus pulang ke sana tiap sabtu ahad selama 3 bulan Diklat di Kalibata.
Penempatan kerja menyumbang satu lagi pengalaman pindahan saya. Pindahan antarpulau. Dari pulau Jawa ke pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Rasanya? Nano-nano. Senang karena bisa tiap akhir pekan wisata ke pantai, gili, sawah, gunung, atau air terjun yang indah-indah. Beruntung karena tidak lagi terjebak macet dan polusi. Sebal karena tiap tiga hari sekali (bahkan kurang) kena pemadaman bergilir. Bingung karena tidak paham bahasa Sasak. Jijik karena kotoran kuda dari Cidomo (andong;dokar) bertebaran di mana-mana. Sedih karena jauh dari keluarga. Atau, khusus untuk saya, stress karena harus mempersiapkan pernikahan dari jarak jauh, hehe.

Setelah menikah, tentunya saya harus kudu bin wajib pindah ikut suami. Maka, dikarenakan tempat kerja yang berbeda, saya baru pindah ke Jakarta saat saya hamil 7 bulan. Saya pindah setelah mendapat persetujuan untuk cuti bersalin dan penempatan sementara selama tiga bulan setelah cuti.

Pindah antarkos sendirian saja bawaannya sudah banyak, apalagi pindahan dari kos ke rumah dengan membawa perlengkapan dua orang. Dari Lombok ke Jakarta, saya harus mengusung 2/3 isi kamar kos saya ke kamar kos suami di Petamburan, Jakarta Pusat. Setelah itu, kami boyongan membawa seluruh isi kamar kos suami plus 2/3 isi kamar kos saya itu ke rumah petak di Ciledug, Jakarta Selatan. Itupun masih harus ditambah dengan belanja perlengkapan rumah seperti alat-alat masak, dispenser, dan kasur. Pindahan yang satu ini, sukses membuat kami berdua sakit barengan selama beberapa hari.
Pindahan untuk tinggal serumah dengan suami juga punya cerita berbeda. Saya yang selama ini terbiasa tinggal sendirian, harus melakukan banyak penyesuaian untuk tinggal berdua dengan suami. Yang tadinya masak bisa sesukanya, sekarang menjadi kewajiban dan harus menyesuaikan dengan selera suami. Yang tadinya mencuci pakaian satu orang, sekarang harus mencuci pakaian dua orang. Kadang saya sebel kalau suami memberantakkan barang yang sudah susah payah dirapikan, tapi saya jadi senang karena jadi ada yang membantu saya masak, angkat-angkat barang, ngusir kecoa, atau membetulkan saluran air, hehe.
Enam bulan kemudian, saya harus kembali lagi ke NTB seorang diri. Rupanya permohonan saya untuk pindah ikut suami belum bisa disetujui karena satu dan lain hal. Maka, saya dan 2/3 isi kamar kos yang saya bawa-bawa ke Jakarta itu, harus mendarat kembali ke tempatnya semula, di kosan Bapak Badaruddin di Mataram.
Enaknya kerja satu instansi dengan suami adalah saat si istri tidak bisa pindah ikut suami, maka suami bisa pindah tempat kerja ikut istri. Itulah yang terjadi dalam pengalaman saya.

Mungkin karena Kantor Pusat BPK RI sudah kebanyakan pegawai, maka Biro SDM akan –lebih-dengan senang hati untuk memutasi pegawai yang ingin pindah dari Kantor Pusat ke Kantor Perwakilan, apalagi yang jauh-jauh seperti Kantor Perwakilan NTB (ini hanya asumsi saya aja, lho, ya). Maka, terjadilah peristiwa itu (_ _!), suami saya dimutasi ke tempat kerja saya, di Kantor Perwakilan NTB.  Alhamdulillah.....!
Pindahan pun berlangsung lagi (drum roll). Saya yang Alhamdulillah mendapat tugas ke Jakarta, bisa membantu suami pindahan. Walaupun hanya rumah petak, ternyata butuh waktu cukup banyak untuk bisa mengemas seluruh isi rumah itu ke dalam kardus-kardus, yang ukurannya pun besar-besar. Kasur, dispenser, lemari, sebagian peralatan dapur, dan sebagian perlengkapan Aisyah kami lungsurkan ke saudara dan tetangga-tetangga.
Urusan yang paling ribet adalah urusan pengiriman barang-barang dari Jakarta ke Mataram. Selain banyak dan mahal, tentunya kami harus memastikan barang-barang tersebut sampai di Mataram dengan selamat. Untuk menghemat, kami memutuskan untuk membagi empat pengiriman barang-barang tersebut. Peralatan dapur dan peralatan elektronik dipak dalam peti dan dikirim via Tiki JNE. Si Repoh (Honda Revo) kami kirimkan menggunakan Elteha ke Bali, lalu dari sana akan diantar teman ke Mataram (ongkir motor Jakarta-Bali jauh lebih murah daripada ongkir Jakarta-Mataram). Buku-buku dan peralatan plastik yang tahan banting kami titipkan pada Travel Safari Darma Raya Jurusan Jakarta-Mataram. Pakaian dan peralatan lain yang akan segera diperlukan kami bawa menggunakan pesawat.

Alhamdulillah, semua proses pengiriman berjalan lancar dengan bantuan seorang saudara.

Proses panjang itu baru setengahnya.
Sebelum pindah ke rumah kontrakan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, kami harus transit dulu ke kos saya selama beberapa hari. Rupanya sudah ada beberapa barang yang kami kirim melalui JNE yang sudah sampai terlebih dahulu di kosan. Sementara itu, barang yang kami kirim melalui Elteha harus diambil sendiri ke kantornya.
Dengan menggunakan pick up sewaan, kami mengusung semua barang-barang di kosan saya, menjemput kulkas yang saya beli dari teman kerja, lalu membawa semuanya ke rumah kontrakan. Selanjutnya, tentunya mengatur-atur letak semua barang-barang tersebut.
Buku-buku dan peralatan plastik akhirnya tiba. Lagi-lagi harus diambil sendiri di kantor Safari Darma Raya. Si Repoh datang paling akhir. Alhamdulillah, seluruh barang-barang lengkap sudah. Pfiuhhh...

Awalnya, saya dan suami sepakat untuk ngontrak saja selama tinggal di perantauan. Bikin rumah permanennya nanti saja kalau sudah dimutasi ke Sumatera Utara atau ke Jawa Timur, our homeland. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, biaya kontrakan kan mahal? Dan tidak ada kepastian kapan kami bisa mutasi ke Medan/Surabaya. Secara, Indonesia punya 33 ibukota provinsi (mudah-mudahan BPK tidak buka perwakilan di tiap kota/kabupaten :D).
Keputusan itu berubah ketika kami berkunjung ke rumah salah seorang teman kantor, namanya Mas Wisnu. Dalam waktu dekat Mas Wisnu dan istrinya akan pindah ke Jakarta, karena dimutasi ke Kantor Pusat. Di gerbang rumahnya digantungkan tulisan ‘DIJUAL TANPA PERANTARA’. Mas Wisnu meminta suami untuk mengambil foto-foto rumahnya agar bisa dipasang di kolom iklan koran setempat.

Ndilalah, kami malah naksir sama rumah Mas Wisnu. Bagaimana tidak, rumah dengan luas tanah 140 m2 dan luas bangunan 120 m2 yang fully furnished itu dijual dengan harga yang saaangat miring. Kamipun bersepakat untuk membeli rumah itu. Alhamdulillah proses permohonan KPR nya lancar.

Kini, kami tengah bersiap untuk pindahan lagi (yeah!).
Kendala pindahan rumah yang sekarang adalah kami harus mencari khadimat dan pengasuh baru lagi. Karena sebelumnya kami punya khadimat dan pengasuh yang pulang pergi. Mohon doanya agar proses pindahan dan pencarian khadimat/pengasuh baru dapat berjalan lancar dan segera. Amiin.  ^_^
.....

Setelah dipikir-pikir, seorang manusia memang tidak pernah lepas dari proses berpindah. Baik berpindah secara fisik, ruh, maupun pemikiran. Dari kekanakan jadi dewasa, dari gendut jadi kurus (amin ;D), dari kafir jadi beriman. Maka, berpindah memberikan kita suatu pencapaian tertentu. Iya nggak?
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari proses berpindah. Kelak, cerita ini akan terus berkembang. Bisa jadi saya dan suami terkena jatah mutasi 3 tahunan. Pindah rumah lagi. Pindah Kota lagi. Pindah Provinsi. Pindah Negeri. Tapi yang pasti, saya tidak ada yang bisa saya ceritakan lagi jika saya telah berpindah dunia.
Cerita ini terinspirasi oleh artikelnya Raditya Dika, Manusia Setengah Salmon.

Nduk, Si Mbak, dan Mbake

Anak-anak Bapak tetap di sini. Nanti setelah Bapak sholat, Bapak mau bicara!”

Deg.

Sholat maghrib berjamaah baru saja didirikan. Bapak menjadi imam seperti biasa, Ibu, Si Mbak, Mbake, dan aku menjadi makmum di belakangnya. Setelah itu, Bapak dan Ibu lanjut sholat sunnah ba’diyah. Aku dan kedua kakakku siap-siap dengan Qur’annya masing-masing.

Begitulah ritual di musholla kecil rumahku setiap waktu maghrib. Biasanya, setelah Bapak selesai sholat sunnah, aktivitas akan dilanjutkan dengan tilawah Al Qur’an, Si Mbak dan Mbake baca Al Qur’an besar, aku masih baca Iqro Jilid 5, dan Bapak menyimak bacaan kami. Setelah itu, Ibu biasanya akan datang bagai Dewi Baik Budi, membawakan bakul nasi dan lauk pauk ke musholla itu, lalu kami makan malam bersama. Ibu selalu tau anak-anaknya ini kelaparan kalau habis tilawah, apalagi kalau Bapak sedang kritis menilai bacaan kami. Iqro Jilid 5 saja lamaaaaa sekali aku diluluskannya.

Sesi sholat Maghrib sore itu agak berbeda, walaupun bukan yang pertama kalinya. Jika Si Bapak ‘melanggar’ rukun ritual kami saat itu, apalagi sampai bilang “Bapak mau bicara!” itu berarti ada yang tidak beres. Ada salah satu atau beberapa dari ketiga anaknya yang bikin ulah, yang ulahnya tidak berkenan (sangat tidak berkenan) di hati Bapak, sehingga perlu ‘disidang’ di hadapan kami bertiga. Ya, kami bertiga saja. Si Ibu tidak pernah ikut menghadiri sidang, tidak tega barangkali lihat kami didukani Bapak. Kalau sudah begitu, sesi makan malam bersama akan semakin malam. Dewi Baik Budi itu baru akan muncul kalau diminta Bapak. Dan itu membuat kami semakin lapar saja.

Bapak sudah selesai sholat sunnah ba’diyahnya. Perlahan-lahan Ia membalikkan badan, menghadapkan wajahnya kepada kami bertiga. Dilihat Bapak seperti itu, nyali ini jadi ciut. Aku tidak berani memandang Bapak. Masing-masing sibuk dengan pikirannya, memaksa memori untuk memutar ulang peristiwa-peristiwa yang sudah lewat. Mencari-cari dimana kenakalan yang bikin Bapak marah itu terselip. Kami bertiga diam.  Pasang telinga untuk mendengar, pasang kantong air mata untuk meminta belas kasihan!

Benarlah, malam itu jadi malam yang lumayan panjang. Tersangka dalam ‘sidang’ itu ternyata Si Mbak. Ceritanya saat itu Si Mbak baru baligh, jadi belum paham benar mengenai kapan seorang wanita harus bersuci setelah menstruasi. Bapak menilai Si Mbak ‘libur’ sholat terlalu lama.

Sidang baru selesai mendekati waktu Isya. Bapak selaku Jaksa Penuntut merangkap Hakim telah mengambil keputusan bahwa Si Mbak tidak salah, hanya belum ngerti saja. Topik pembicaraan pun berganti ke hal-hal yang lebih ringan, Bapak sudah tidak kelihatan menyeramkan lagi. Di akhir sidang Bapak berpesan pada kami,

“Mulai sekarang, Bapak pengen lihat kalian membiasakan diri sholat sunnah setelah Maghrib, setelah Isya, dan sebelum Shubuh. Lalu setiap pagi sebelum berangkat sekolah, kalian sholat Dhuha dua rakaat. Paham?”

Bapak mengarahkan pandangannya kepada Si Mbak. Si Mbak membalas dengan anggukan.

“Mbake?”

Mbake mengangguk sambil sesenggukan. Tadi sempat nangis karena takut.

“Nduk?”

Aku mengangguk juga, dengan wajah bego.

“Mumpung belum Isya, sholat sunnahnya dimulai sekarang saja!”

Setelah bicara begitu Bapak beranjak dari Musholla. Kami bertiga menjalankan sholat sunnah ba’diyah Maghrib. Aku tahu Bapak masih mengawasi kami sambil makan entah apa di pintu Musholla. Bapak tidak tahu kalau kami ini sholat sambil menahan lapar. Bunyi krasak-krusuk dari arah pintu itu membuat kami semakin lapar. Kami rindu Dewi Baik Budi.

Di rumahku ada banyak ritual. Jangan salah, bukan ritual-ritual bid’ah apalagi sesat. Hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi rutinitas, pada waktu yang sama dengan kegiatan yang sama. Rutinitas itu akhirnya menjadi ‘ritual,’ istilah yang aku pakai untuk menggambarkan runtutan aktivitas yang tidak boleh diganggu gugat oleh seluruh penghuni rumah. Jika suatu saat ada satu saja yang melanggar, maka rusaklah seluruh rukun ritual hari itu.

Aktivitas pagi di rumahku dimulai kira-kira sepuluh menit sebelum Adzan Shubuh. Ibu selalu yang pertama bangun. Walaupun aku tak pernah menyaksikan langsung, aku tahu bahwa aktivitas Ibu setelah bangun adalah membuka semua jendela di samping rumah, menyibak tirai jendela di ruang tamu, menyalakan air, menyalakan kompor dan mulai menanak nasi, baru setelah itu wudhu dengan sangat lama, membangunkan anak-anaknya yang tidur dalam satu kamar, lalu sholat Shubuh.

Sementara Ibu Sholat, Si Mbak, Mbake, dan aku mengantri wudhu. Jika sudah sholat biasanya Si Mbak membantu ibu memasak buat sarapan, Mbake mencuci piring, tugasku nanti kalau nasi sudah matang, aku yang akan memindahkan nasi dari soblukan ke bakul nasi, sebagiannya ke piring Bapak. Bapak kala itu masih cukup segar untuk selalu jamaah Shubuh di masjid yang jaraknya sekiitar 100 meter dari rumah kami.

Karena tugasku dikerjakan belakangan, maka aku diwajibkan mandi paling pagi. Jam 5 tepat aku harus sudah mandi. Biasanya selesai 15 menit kemudian. Disusul Mbake yang baru selesai cuci piring seabrek-abrek. Lalu Si Mbak. Lalu Bapak. Terakhir Ibu yang mandinya paling lama. Setelah urusan mandi selesai--biasanya selesai jam 6.15--, maka ritual pagi itu sudah lebih longgar. Kami tinggal makan pagi (terserah mau cepat atau lambat), lalu Bapak Ibu berangkat ke tempat kerja, para kakak dan aku pergi ke sekolah masing-masing.

Lagi-lagi ada saja kejadian tidak biasa. Kali ini Ibu yang melanggar ritual pagi kami. Suatu pagi, Ibu tidak menjalankan rukun ‘membangunkan anak-anaknya yang tidur dalam satu kamar.’ Herannya hanya aku saja yang bangun tidak sesuai jadwal.

Aku yang harusnya mandi paling pagi terlambat masuk kamar mandi setengah jam dari yang dijadwalkan. Akibatnya sudah bisa ditebak. Efeknya berentetan ke urutan dan lama mandi antrian berikutnya. Yang paling malang ya Ibuku, harus ngebut mandinya. Jadilah hari itu aku jadi sasaran amuk masa.

“Jangan salahin aku, salahin Ibu aku nggak dibangunin!” Protesku sambil menggerutu. Sedari tadi aku manyun-manyun di hadapan Ibu. Manyunku itu berharap sebuah penjelasan kenapa aku tidak dibangunkan, tapi Ibu seolah tidak melihatnya. Barulah saat makan pagi Ibu menerangkan alasannya.

“Disiplin itu datangnya dari membiasakan diri sendiri, Nduk. Kalau kamu minta dibangunin Ibu terus, berarti kamu bergantung terus sama Ibu. Lha kapan bisa membiasakan diri? Kapan bisa disiplin? Tadi itu Ibu nggak bangunin kalian bertiga. Semua. Tapi buktinya kakak-kakakmu bisa bangun tepat waktu. Itu artinya mereka sudah punya tanggung jawab pada dirinya sendiri.”

“……..” (Tertohok)

Setelah kejadian itu, aku berinisiatif beli jam beker sendiri. Murah, cuma 5 ribu. Hari-hari selanjutnya, tugas Ibu membangunkanku digantikan oleh jam beker. Kakak-kakakku sudah bisa bangun sendiri. Lama-kelamaan, aku juga bisa bangun sendiri, tanpa bantuan jam beker itu lagi.



“Kuletakkan setiap kata-kata ayahku di atas nampan pualam”

Aku menukil kata-kata itu dari kalimat yang ada dalam sebuah Novel karya Andrea Hirata, Maryamah Karpov. Dikisahkan bahwa ayah Andrea adalah seorang yang teramat pendiam. Saking pendiamnya, ucapannya dalam setahun bisa dihitung dengan jari, bisa dihapal. Dan setiap kata-kata Sang Ayah itu sangat berharga bagi Andrea, hingga dijunjungnya tinggi-tinggi, diletakkannya di dalam nampan pualam.

Jika boleh meniru Andrea Hirata, maka itu pulalah yang ingin aku lakukan pada ucapan-ucapan orang tuaku. Ibu tidak sampai sebegitu pendiamnya, sedangkan Bapak sama sekali bukan pendiam. Memang kata-kata mereka tidak selalu berupa nasihat, seringkali hanya obrolan atau sekedar canda. Tapi tak sedikit yang meninggalkan bekas.

Setiap kali sunnah qabliyah dan ba’diyah serta Dhuha didirikan

Tak setiap kali itu aku mengingat bagaimana kebiasaan itu bermula

Aku yakin kakak-kakakku pun begitu

Setiap kali mata ini terbuka tanpa dibangunkan

Tak setiap kali itu aku menyadari bagaimana kemampuan itu terbina

Yakin! Kakak-kakakku pun begitu

Tapi, diketahui atau tidak, disadari atau tidak

Bukankah ilmu yang bermanfaat itu selalu mengalirkan pahala bagi siapapun yang memberinya?

Semoga begitu pula untukmu Bapak dan Ibu

Amin.



NB: My Dad My Pious Dad, bacaan bagus di kala homesick, di segala cuaca juga dink!

Go-Blog!!


Adakah yang pengen nampar saya saat baca judul postingan ini?

Weitss...jangan dooong, saya baru facial niih >,<

Go-blog alias ayo nge-blog alias ayo bikin (dan isi) blog. Postingan ini saya bikin untuk mengenang –dan  membangkitkan kembali- semangat saya dalam tulis menulis blog. Jadi gini ceritanya...

Blog pertama saya adalah kitabuncurhatun.multiply.com. Inipun tidak benar-benar blog pribadi saya. Kitabuncurhatun adalah blog keroyokan saya dengan beberapa teman kampus. Kami pakai nama pena di sini ^^.

Setelah menikah, saya membuat blog lagi. Yang ini baru blog pribadi saya. Namanya ratnaeliqram.multiply.com. banyak yang ‘nge-add’ saya karena nama blog saya ini. Yang nge-add kebanyakan teman-teman suami saya yang ngeh dengan nama ‘iqram’nya, hehe. Dulu saya memang masih menganggap menggunakan nama belakang suami dengan tambahan ‘el’ itu sesuatu yang keren. Sebenernya Ratnaeliqram memang keren sih, tapi Ratna Tri Darmayanti juga ga kalah keren kok.

Nah, setelah multiply dengan resmi ‘menggusur’ para blogger karena web-nya mau difokuskan untuk perdagangan, KEMPLY a.k.a komunitas multiply yang notabene kebanyakan teman-teman kampus saya rame-rame bedol desa (bedol blog, ding!).

Maka, di sinilah saya, dengan blog baru nishrina-shiro.blogspot.com mencoba untuk menyemangati diri kembali agar lebih aktif nge-blog. Di sini, saya ingin berbagi cerita dengan teman-teman saya yang tersebar dari sabang sampai merauke. Di sini, saya ingin berbagi pengalaman saya menjadi istri, ibu, pekerja, dll.

Selama tangan masih bisa bertasbih, semoga saya bisa memberi tulisan-tulisan yang bermanfaat. Jadi, ayo ngeblog!