Kamis, 06 September 2012

Nduk, Si Mbak, dan Mbake

Anak-anak Bapak tetap di sini. Nanti setelah Bapak sholat, Bapak mau bicara!”

Deg.

Sholat maghrib berjamaah baru saja didirikan. Bapak menjadi imam seperti biasa, Ibu, Si Mbak, Mbake, dan aku menjadi makmum di belakangnya. Setelah itu, Bapak dan Ibu lanjut sholat sunnah ba’diyah. Aku dan kedua kakakku siap-siap dengan Qur’annya masing-masing.

Begitulah ritual di musholla kecil rumahku setiap waktu maghrib. Biasanya, setelah Bapak selesai sholat sunnah, aktivitas akan dilanjutkan dengan tilawah Al Qur’an, Si Mbak dan Mbake baca Al Qur’an besar, aku masih baca Iqro Jilid 5, dan Bapak menyimak bacaan kami. Setelah itu, Ibu biasanya akan datang bagai Dewi Baik Budi, membawakan bakul nasi dan lauk pauk ke musholla itu, lalu kami makan malam bersama. Ibu selalu tau anak-anaknya ini kelaparan kalau habis tilawah, apalagi kalau Bapak sedang kritis menilai bacaan kami. Iqro Jilid 5 saja lamaaaaa sekali aku diluluskannya.

Sesi sholat Maghrib sore itu agak berbeda, walaupun bukan yang pertama kalinya. Jika Si Bapak ‘melanggar’ rukun ritual kami saat itu, apalagi sampai bilang “Bapak mau bicara!” itu berarti ada yang tidak beres. Ada salah satu atau beberapa dari ketiga anaknya yang bikin ulah, yang ulahnya tidak berkenan (sangat tidak berkenan) di hati Bapak, sehingga perlu ‘disidang’ di hadapan kami bertiga. Ya, kami bertiga saja. Si Ibu tidak pernah ikut menghadiri sidang, tidak tega barangkali lihat kami didukani Bapak. Kalau sudah begitu, sesi makan malam bersama akan semakin malam. Dewi Baik Budi itu baru akan muncul kalau diminta Bapak. Dan itu membuat kami semakin lapar saja.

Bapak sudah selesai sholat sunnah ba’diyahnya. Perlahan-lahan Ia membalikkan badan, menghadapkan wajahnya kepada kami bertiga. Dilihat Bapak seperti itu, nyali ini jadi ciut. Aku tidak berani memandang Bapak. Masing-masing sibuk dengan pikirannya, memaksa memori untuk memutar ulang peristiwa-peristiwa yang sudah lewat. Mencari-cari dimana kenakalan yang bikin Bapak marah itu terselip. Kami bertiga diam.  Pasang telinga untuk mendengar, pasang kantong air mata untuk meminta belas kasihan!

Benarlah, malam itu jadi malam yang lumayan panjang. Tersangka dalam ‘sidang’ itu ternyata Si Mbak. Ceritanya saat itu Si Mbak baru baligh, jadi belum paham benar mengenai kapan seorang wanita harus bersuci setelah menstruasi. Bapak menilai Si Mbak ‘libur’ sholat terlalu lama.

Sidang baru selesai mendekati waktu Isya. Bapak selaku Jaksa Penuntut merangkap Hakim telah mengambil keputusan bahwa Si Mbak tidak salah, hanya belum ngerti saja. Topik pembicaraan pun berganti ke hal-hal yang lebih ringan, Bapak sudah tidak kelihatan menyeramkan lagi. Di akhir sidang Bapak berpesan pada kami,

“Mulai sekarang, Bapak pengen lihat kalian membiasakan diri sholat sunnah setelah Maghrib, setelah Isya, dan sebelum Shubuh. Lalu setiap pagi sebelum berangkat sekolah, kalian sholat Dhuha dua rakaat. Paham?”

Bapak mengarahkan pandangannya kepada Si Mbak. Si Mbak membalas dengan anggukan.

“Mbake?”

Mbake mengangguk sambil sesenggukan. Tadi sempat nangis karena takut.

“Nduk?”

Aku mengangguk juga, dengan wajah bego.

“Mumpung belum Isya, sholat sunnahnya dimulai sekarang saja!”

Setelah bicara begitu Bapak beranjak dari Musholla. Kami bertiga menjalankan sholat sunnah ba’diyah Maghrib. Aku tahu Bapak masih mengawasi kami sambil makan entah apa di pintu Musholla. Bapak tidak tahu kalau kami ini sholat sambil menahan lapar. Bunyi krasak-krusuk dari arah pintu itu membuat kami semakin lapar. Kami rindu Dewi Baik Budi.

Di rumahku ada banyak ritual. Jangan salah, bukan ritual-ritual bid’ah apalagi sesat. Hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi rutinitas, pada waktu yang sama dengan kegiatan yang sama. Rutinitas itu akhirnya menjadi ‘ritual,’ istilah yang aku pakai untuk menggambarkan runtutan aktivitas yang tidak boleh diganggu gugat oleh seluruh penghuni rumah. Jika suatu saat ada satu saja yang melanggar, maka rusaklah seluruh rukun ritual hari itu.

Aktivitas pagi di rumahku dimulai kira-kira sepuluh menit sebelum Adzan Shubuh. Ibu selalu yang pertama bangun. Walaupun aku tak pernah menyaksikan langsung, aku tahu bahwa aktivitas Ibu setelah bangun adalah membuka semua jendela di samping rumah, menyibak tirai jendela di ruang tamu, menyalakan air, menyalakan kompor dan mulai menanak nasi, baru setelah itu wudhu dengan sangat lama, membangunkan anak-anaknya yang tidur dalam satu kamar, lalu sholat Shubuh.

Sementara Ibu Sholat, Si Mbak, Mbake, dan aku mengantri wudhu. Jika sudah sholat biasanya Si Mbak membantu ibu memasak buat sarapan, Mbake mencuci piring, tugasku nanti kalau nasi sudah matang, aku yang akan memindahkan nasi dari soblukan ke bakul nasi, sebagiannya ke piring Bapak. Bapak kala itu masih cukup segar untuk selalu jamaah Shubuh di masjid yang jaraknya sekiitar 100 meter dari rumah kami.

Karena tugasku dikerjakan belakangan, maka aku diwajibkan mandi paling pagi. Jam 5 tepat aku harus sudah mandi. Biasanya selesai 15 menit kemudian. Disusul Mbake yang baru selesai cuci piring seabrek-abrek. Lalu Si Mbak. Lalu Bapak. Terakhir Ibu yang mandinya paling lama. Setelah urusan mandi selesai--biasanya selesai jam 6.15--, maka ritual pagi itu sudah lebih longgar. Kami tinggal makan pagi (terserah mau cepat atau lambat), lalu Bapak Ibu berangkat ke tempat kerja, para kakak dan aku pergi ke sekolah masing-masing.

Lagi-lagi ada saja kejadian tidak biasa. Kali ini Ibu yang melanggar ritual pagi kami. Suatu pagi, Ibu tidak menjalankan rukun ‘membangunkan anak-anaknya yang tidur dalam satu kamar.’ Herannya hanya aku saja yang bangun tidak sesuai jadwal.

Aku yang harusnya mandi paling pagi terlambat masuk kamar mandi setengah jam dari yang dijadwalkan. Akibatnya sudah bisa ditebak. Efeknya berentetan ke urutan dan lama mandi antrian berikutnya. Yang paling malang ya Ibuku, harus ngebut mandinya. Jadilah hari itu aku jadi sasaran amuk masa.

“Jangan salahin aku, salahin Ibu aku nggak dibangunin!” Protesku sambil menggerutu. Sedari tadi aku manyun-manyun di hadapan Ibu. Manyunku itu berharap sebuah penjelasan kenapa aku tidak dibangunkan, tapi Ibu seolah tidak melihatnya. Barulah saat makan pagi Ibu menerangkan alasannya.

“Disiplin itu datangnya dari membiasakan diri sendiri, Nduk. Kalau kamu minta dibangunin Ibu terus, berarti kamu bergantung terus sama Ibu. Lha kapan bisa membiasakan diri? Kapan bisa disiplin? Tadi itu Ibu nggak bangunin kalian bertiga. Semua. Tapi buktinya kakak-kakakmu bisa bangun tepat waktu. Itu artinya mereka sudah punya tanggung jawab pada dirinya sendiri.”

“……..” (Tertohok)

Setelah kejadian itu, aku berinisiatif beli jam beker sendiri. Murah, cuma 5 ribu. Hari-hari selanjutnya, tugas Ibu membangunkanku digantikan oleh jam beker. Kakak-kakakku sudah bisa bangun sendiri. Lama-kelamaan, aku juga bisa bangun sendiri, tanpa bantuan jam beker itu lagi.



“Kuletakkan setiap kata-kata ayahku di atas nampan pualam”

Aku menukil kata-kata itu dari kalimat yang ada dalam sebuah Novel karya Andrea Hirata, Maryamah Karpov. Dikisahkan bahwa ayah Andrea adalah seorang yang teramat pendiam. Saking pendiamnya, ucapannya dalam setahun bisa dihitung dengan jari, bisa dihapal. Dan setiap kata-kata Sang Ayah itu sangat berharga bagi Andrea, hingga dijunjungnya tinggi-tinggi, diletakkannya di dalam nampan pualam.

Jika boleh meniru Andrea Hirata, maka itu pulalah yang ingin aku lakukan pada ucapan-ucapan orang tuaku. Ibu tidak sampai sebegitu pendiamnya, sedangkan Bapak sama sekali bukan pendiam. Memang kata-kata mereka tidak selalu berupa nasihat, seringkali hanya obrolan atau sekedar canda. Tapi tak sedikit yang meninggalkan bekas.

Setiap kali sunnah qabliyah dan ba’diyah serta Dhuha didirikan

Tak setiap kali itu aku mengingat bagaimana kebiasaan itu bermula

Aku yakin kakak-kakakku pun begitu

Setiap kali mata ini terbuka tanpa dibangunkan

Tak setiap kali itu aku menyadari bagaimana kemampuan itu terbina

Yakin! Kakak-kakakku pun begitu

Tapi, diketahui atau tidak, disadari atau tidak

Bukankah ilmu yang bermanfaat itu selalu mengalirkan pahala bagi siapapun yang memberinya?

Semoga begitu pula untukmu Bapak dan Ibu

Amin.



NB: My Dad My Pious Dad, bacaan bagus di kala homesick, di segala cuaca juga dink!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar