Sampai lulus SMA, saya belum pernah tau seperti apa rasanya pindahan rumah. Saya hidup dengan tenang dan damai di dalam sebuah rumah hanya di satu kota. Di situ saja selama 19 tahun. Kalaupun bisa disebut pindahan, maka satu-satunya pindahan yang pernah saya rasakan adalah pindahan tempat tidur karena kasur saya ditukar. Dan itu sukses membuat saya nangis, tidak tidur semalaman. :D
Saya memang sudah teramat betah dengan kota saya, rumah saya, apalagi kasur saya. Oleh karena itu, saat pindahan perdana karena menjadi Mahasiswi STAN, saya mengalami jetlag luar biasa. Saya tidak hanya harus berpindah kasur, tapi juga pergi dari rumah, pindah kota, bahkan berpindah pola hidup.
Saya masih ingat, awal awal tinggal di Jurangmangu, tiap kali mendengar suara kereta (dari kosan saya bisa terdengar bunyi kereta tiap hari) mata saya mbrebes mili. Pengen pulang.
Untungnya itu hanya pekan pekan pertama saja, tidak sampai 3 tahun ^^.
Hampir lulus dari STAN, saya terpaksa pindahan lagi. Jatah ngekos yang hampir habis dan tahun ajaran baru yang hampir tiba, membuat Ibu Kos mewanti-wanti agar kami segera bersiap untuk “hengkang” dari rumah kos kami yang nyaman di Kalimongso.
Dasar saya dan 3 orang lain teman kos sudah klop satu sama lain, kami ogah pindah kos berpencar-pencar. Jadilah kemana-mana kami selalu mencari kosan yang bisa menampung kami semua. Alhamdulillah kami berhasil mendapatkan kamar kos yang cukup lega di Jalan Gurita, PJMI. Kamar kos itu kami tinggali berempat (bayangkan umplek-umplekannya :D).
Di kos Gurita, saya tinggal selama kurleb 3 bulan, plus pulang ke sana tiap sabtu ahad selama 3 bulan Diklat di Kalibata.
Penempatan kerja menyumbang satu lagi pengalaman pindahan saya. Pindahan antarpulau. Dari pulau Jawa ke pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Rasanya? Nano-nano. Senang karena bisa tiap akhir pekan wisata ke pantai, gili, sawah, gunung, atau air terjun yang indah-indah. Beruntung karena tidak lagi terjebak macet dan polusi. Sebal karena tiap tiga hari sekali (bahkan kurang) kena pemadaman bergilir. Bingung karena tidak paham bahasa Sasak. Jijik karena kotoran kuda dari Cidomo (andong;dokar) bertebaran di mana-mana. Sedih karena jauh dari keluarga. Atau, khusus untuk saya, stress karena harus mempersiapkan pernikahan dari jarak jauh, hehe.
Setelah menikah, tentunya saya harus kudu bin wajib pindah ikut suami. Maka, dikarenakan tempat kerja yang berbeda, saya baru pindah ke Jakarta saat saya hamil 7 bulan. Saya pindah setelah mendapat persetujuan untuk cuti bersalin dan penempatan sementara selama tiga bulan setelah cuti.
Pindah antarkos sendirian saja bawaannya sudah banyak, apalagi pindahan dari kos ke rumah dengan membawa perlengkapan dua orang. Dari Lombok ke Jakarta, saya harus mengusung 2/3 isi kamar kos saya ke kamar kos suami di Petamburan, Jakarta Pusat. Setelah itu, kami boyongan membawa seluruh isi kamar kos suami plus 2/3 isi kamar kos saya itu ke rumah petak di Ciledug, Jakarta Selatan. Itupun masih harus ditambah dengan belanja perlengkapan rumah seperti alat-alat masak, dispenser, dan kasur. Pindahan yang satu ini, sukses membuat kami berdua sakit barengan selama beberapa hari.
Pindahan untuk tinggal serumah dengan suami juga punya cerita berbeda. Saya yang selama ini terbiasa tinggal sendirian, harus melakukan banyak penyesuaian untuk tinggal berdua dengan suami. Yang tadinya masak bisa sesukanya, sekarang menjadi kewajiban dan harus menyesuaikan dengan selera suami. Yang tadinya mencuci pakaian satu orang, sekarang harus mencuci pakaian dua orang. Kadang saya sebel kalau suami memberantakkan barang yang sudah susah payah dirapikan, tapi saya jadi senang karena jadi ada yang membantu saya masak, angkat-angkat barang, ngusir kecoa, atau membetulkan saluran air, hehe.
Enam bulan kemudian, saya harus kembali lagi ke NTB seorang diri. Rupanya permohonan saya untuk pindah ikut suami belum bisa disetujui karena satu dan lain hal. Maka, saya dan 2/3 isi kamar kos yang saya bawa-bawa ke Jakarta itu, harus mendarat kembali ke tempatnya semula, di kosan Bapak Badaruddin di Mataram.
Enaknya kerja satu instansi dengan suami adalah saat si istri tidak bisa pindah ikut suami, maka suami bisa pindah tempat kerja ikut istri. Itulah yang terjadi dalam pengalaman saya.
Mungkin karena Kantor Pusat BPK RI sudah kebanyakan pegawai, maka Biro SDM akan –lebih-dengan senang hati untuk memutasi pegawai yang ingin pindah dari Kantor Pusat ke Kantor Perwakilan, apalagi yang jauh-jauh seperti Kantor Perwakilan NTB (ini hanya asumsi saya aja, lho, ya). Maka, terjadilah peristiwa itu (_ _!), suami saya dimutasi ke tempat kerja saya, di Kantor Perwakilan NTB. Alhamdulillah.....!
Pindahan pun berlangsung lagi (drum roll). Saya yang Alhamdulillah mendapat tugas ke Jakarta, bisa membantu suami pindahan. Walaupun hanya rumah petak, ternyata butuh waktu cukup banyak untuk bisa mengemas seluruh isi rumah itu ke dalam kardus-kardus, yang ukurannya pun besar-besar. Kasur, dispenser, lemari, sebagian peralatan dapur, dan sebagian perlengkapan Aisyah kami lungsurkan ke saudara dan tetangga-tetangga.
Urusan yang paling ribet adalah urusan pengiriman barang-barang dari Jakarta ke Mataram. Selain banyak dan mahal, tentunya kami harus memastikan barang-barang tersebut sampai di Mataram dengan selamat. Untuk menghemat, kami memutuskan untuk membagi empat pengiriman barang-barang tersebut. Peralatan dapur dan peralatan elektronik dipak dalam peti dan dikirim via Tiki JNE. Si Repoh (Honda Revo) kami kirimkan menggunakan Elteha ke Bali, lalu dari sana akan diantar teman ke Mataram (ongkir motor Jakarta-Bali jauh lebih murah daripada ongkir Jakarta-Mataram). Buku-buku dan peralatan plastik yang tahan banting kami titipkan pada Travel Safari Darma Raya Jurusan Jakarta-Mataram. Pakaian dan peralatan lain yang akan segera diperlukan kami bawa menggunakan pesawat.
Alhamdulillah, semua proses pengiriman berjalan lancar dengan bantuan seorang saudara.
Proses panjang itu baru setengahnya.
Sebelum pindah ke rumah kontrakan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, kami harus transit dulu ke kos saya selama beberapa hari. Rupanya sudah ada beberapa barang yang kami kirim melalui JNE yang sudah sampai terlebih dahulu di kosan. Sementara itu, barang yang kami kirim melalui Elteha harus diambil sendiri ke kantornya.
Dengan menggunakan pick up sewaan, kami mengusung semua barang-barang di kosan saya, menjemput kulkas yang saya beli dari teman kerja, lalu membawa semuanya ke rumah kontrakan. Selanjutnya, tentunya mengatur-atur letak semua barang-barang tersebut.
Buku-buku dan peralatan plastik akhirnya tiba. Lagi-lagi harus diambil sendiri di kantor Safari Darma Raya. Si Repoh datang paling akhir. Alhamdulillah, seluruh barang-barang lengkap sudah. Pfiuhhh...
Awalnya, saya dan suami sepakat untuk ngontrak saja selama tinggal di perantauan. Bikin rumah permanennya nanti saja kalau sudah dimutasi ke Sumatera Utara atau ke Jawa Timur, our homeland. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, biaya kontrakan kan mahal? Dan tidak ada kepastian kapan kami bisa mutasi ke Medan/Surabaya. Secara, Indonesia punya 33 ibukota provinsi (mudah-mudahan BPK tidak buka perwakilan di tiap kota/kabupaten :D).
Keputusan itu berubah ketika kami berkunjung ke rumah salah seorang teman kantor, namanya Mas Wisnu. Dalam waktu dekat Mas Wisnu dan istrinya akan pindah ke Jakarta, karena dimutasi ke Kantor Pusat. Di gerbang rumahnya digantungkan tulisan ‘DIJUAL TANPA PERANTARA’. Mas Wisnu meminta suami untuk mengambil foto-foto rumahnya agar bisa dipasang di kolom iklan koran setempat.
Ndilalah, kami malah naksir sama rumah Mas Wisnu. Bagaimana tidak, rumah dengan luas tanah 140 m2 dan luas bangunan 120 m2 yang fully furnished itu dijual dengan harga yang saaangat miring. Kamipun bersepakat untuk membeli rumah itu. Alhamdulillah proses permohonan KPR nya lancar.
Kini, kami tengah bersiap untuk pindahan lagi (yeah!).
Kendala pindahan rumah yang sekarang adalah kami harus mencari khadimat dan pengasuh baru lagi. Karena sebelumnya kami punya khadimat dan pengasuh yang pulang pergi. Mohon doanya agar proses pindahan dan pencarian khadimat/pengasuh baru dapat berjalan lancar dan segera. Amiin. ^_^
.....
Setelah dipikir-pikir, seorang manusia memang tidak pernah lepas dari proses berpindah. Baik berpindah secara fisik, ruh, maupun pemikiran. Dari kekanakan jadi dewasa, dari gendut jadi kurus (amin ;D), dari kafir jadi beriman. Maka, berpindah memberikan kita suatu pencapaian tertentu. Iya nggak?
Banyak hikmah yang dapat dipetik dari proses berpindah. Kelak, cerita ini akan terus berkembang. Bisa jadi saya dan suami terkena jatah mutasi 3 tahunan. Pindah rumah lagi. Pindah Kota lagi. Pindah Provinsi. Pindah Negeri. Tapi yang pasti, saya tidak ada yang bisa saya ceritakan lagi jika saya telah berpindah dunia.
Cerita ini terinspirasi oleh artikelnya Raditya Dika, Manusia Setengah Salmon.
semoga kontrakan yang tak tempati sekarang bisa jadi milik pribadi :)
BalasHapus#efek pernah pindahan dan nggak kepengen mengalaminya lagi dalam jangka waktu dekat
ngebayangin Pindahan laginya aja bikin males ya, Mbak, hehe.
BalasHapus